Jumat, 19 Mei 2017

3 tempat religi di tawangharjo

 Belakangan, wisata religi menjadi tren baru yang digandrungi banyak orang.
Entah siapa yamg membuat dan mempopulerkan istilah itu, yang jelas secara tiba-tiba istilah “wisata religi” menjadi semacam kesepakatan yang tak terkatakan (ijmak sukûtiy), yang diakui berbagai kalangan, mulai dari para penyedia armada wisata, pengelola kawasan ziarah wali, tokoh-tokoh masyarakat, dan masyarakat umum, baik pedesaan maupun perkotaan.

Lalu, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan wisata religi itu? Dari penamaan ini, tampak jelas bagi kita bahwa wisata ini dimaksudkan untuk memperkaya wawasan keagamaan dan memperdalam rasa spiritual kita. Karena bagaimanapun, ini adalah perjalanan keagamaan yang ditujukan untuk memenuhi dahaga spiritual, agar jiwa yang kering kembali basah oleh hikmah-hikmah religi. Jadi ini bukan wisata biasa yang hanya dimaksudkan untuk bersenang-senang, menghilangkan kepenatan pikiran, semacam dengan pergi ke tempat hiburan.


Dengan demikian, maka semestinya tujuan wisata religi tidaklah sempit, namun memiliki cakupan yang sangat luas, dan sifatnya cukup personal. Artinya tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata religi tidak terbatas pada makam-makam para wali saja, namun mencakup setiap tempat yang bisa menggairahkan cita rasa religiusitas kita, atau bisa menyegarkan dahaga spiritual kita, baik itu pemakaman para wali, museum-museum kesejarahan Islam, tempat-tempat bersejarah, atau tempat apapun yang bisa menyampaikan kita pada tujuan yang dikehendaki dalam wisata religi itu. Tergantung kecendrungan kejiwaan masing-masing orang.   

                             Oke kali ini saya akan berbagi pada teman2 semua 3 tempat religi di kawasan Dusun    Tawangharjo kabupaten Grobogan


dimulai yang pertama 













KI AGENG SELO

KI AGENG SELO



Ki Ageng Selo Menurunkan
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Ki Ageng Selo adalah keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V. Pernikahan Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning melahirkan Bondan Kejawen atau Lembu Peteng. Lembu Peteng yang menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub, menurunkan Ki Ageng Getas Pendawa. Dari Ki Ageng Getas Pendawa lahirlah Bogus Sogom alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo.
Lantas, bagaimana juntrungan-nya Ki Ageng Selo bisa disebut penurun raja-raja Mataram? Ki Ageng Selo menurunkan Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng Ngenis menurunkan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan menurunkan Panembahan Senapati. Dari Panembahan Senapati inilah diturunkan para raja Mataram sampai sekarang.
Namun, perkembangan ini hendaknya tidak melenakan, bahwa di sisi lain ada hal urgen yang mutlak diperhatikan. Yaitu, keabadian sejarah dan konsistensi mengamalkan Serat Pepali Ki Ageng Selo, yang merupakan pengejawantahan ajaran Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Untuk yang pertama (mengabadikan sejarah) meniscayakan adanya kodifikasi sejarah Ki Ageng Selo dalam satu buku khusus, sebagaimana Wali Songo dan para wali lain bahkan para kiai mutakhir juga diabadikan ketokohan, jasa-jasa, dan keteladanannya dalam catatan sejarah yang utuh dan tuntas. Dari pengamatan penulis, buku-buku sejarah yang ada saat ini hanya menuturkan sekelumit saja tentang keberadaan Ki Ageng Selo sebagai penurun para raja Mataram (Surakarta dan Yogyakarta), serta kedigdayaannya menangkap petir (bledeg).
Minimnya perhatian ahli sejarah dan langkanya buku sejarah yang mengupas tuntas sejarah waliyullah sang penangkap petir, memunculkan kekhawatiran akan keasingan generasi mendatang dari sosok mulia kakek moyang raja-raja Mataram. Tidak mustahil, anak cucu kita (termasuk warga Surakarta dan Yogyakarta) akan asing dengan siapa dan apa jasa Ki Ageng Selo serta keteladanan-keteladanannya. Barangkali tidak banyak yang tahu bahwa Surakarta dan Yogyakarta memiliki ikatan sejarah dan emosional yang erat dengan Selo. Mungkin hanya warga di lingkungan Keraton yang mengetahui itu. Padahal ikatan itu kian kukuh dengan diabadikannya api bledeg di tiga kota tersebut. Bahkan pada tahun-tahun tertentu (Tahun Dal), untuk keperluan Gerebeg dan sebagainya, Keraton Surakarta mengambil api dari Selo.
Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja - raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana sekarang makamnya terdapat di desa Sela, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Dati II Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).
Menurut cerita dalam babad tanah Jawi ( Meinama, 1905; Al - thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki - laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian. Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkawinan antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kawin dengan Ki Ageng Ngerang.
 
 
 
 
 
SEJARAH SINGKAT KI AGENG TARUB
Kurang lebih pada tahun 1300 M ada utusan ( Mubaligh ) dari Arab yaitu Syeh Jumadil Kubro beliau mempunyai putri bernama Thobiroh dan Thobiroh mempunyai putra Syeh Maulana Maghribi. Pada saat itu beliau mendapat perintah untuk mengembangkan Syiar agama Islam di Tanah Jawa, karena pada saat itu orang-orang jawa masih memeluk agam Budha serta pada saat itu juga orang-orang jawa masih ahli dalam bertapa dalam hal mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, sehingga orang-orang Tanah Jawa banyak yang istilah jawa disebut “ Ora Tedhas Papak Palu ning Pande “ ( Kebal kulitnya terhadap senjata apapun ).
Kemudian Syeh Maulana Maghribi mulai memasukkan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat Jawa dalam berKhalwat untuk mendekatkan diri kepada ALLAH dengan cara bertapa pula sehingga seperti budaya masyarakat Jawa yang masih beragama budha dengan maksud untuk menarik perhatian masyarakat jawa untuk bias memeluk agama Islam. Namun cara bertapa yang dilakukan oleh Syeh Maulana Maghribi lain dengan cara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa umumnya, Syeh Maulana Maghribi dalam bertapa dengan cara naik ke atas pohon dengan menggelantungkan badannya seperti kelelawar cara seperti ini oleh masyarakat Jawa disebut dengan bertapa Ngalong ( Kalong ) kemudian dalam bertapa Syeh Maulana Maghribi bertemu dengan putrid Bupati Tuban I yang bernama DEWI RETNO ROSO WULAN adik perempuan R. Sahid ( Sunan Kalijaga ). Yang saat itu Dewi Retno Roso Wulan diperintah oleh Ayahandanya Adipati Wilotikto untuk melakukan bertapa Ngidang dengan cara masuk hutan selama 7 tahun tidah boleh pulang dan tidak boleh makan kecuali makan daun-daun yang berada di hutan.
Perintah bertapa ini dilakukan oleh Dewi Retno Roso Wulan agar supaya cita-citanya untuk bertemu dengan kakaknya Raden Sahid dapat terwujud. Namun dalam proses pencarian R. Sahid berjalan ia bertemu dengan Syeh Maulana Maghribi, pertemuan ini terjadi pada saat masih menjalankan bertapa, dan dari pertemuannya ini mereka terjalin rasa saling mencintai dan saling ada kecocokan yang akhirnya menjadi suami istri . Pertemuan keduanya yang sudah menjadi suami istri, dilanjutkan dengan pulang ke Adipati Tuban untuk menghadap Ayahandanya, tetapi Dewi Retno Roso Wulan yang sudah dalam keadaan hamil pulang seorang diri dan tidak bersama suaminya Syeh Maulana Maghribi. Sesampainya di Kadipaten Tuban Dewi Retno Roso Wulan ditanya oleh Ayahandanya “ Siapa Suamimu, sehingga kamu pulang dalam keadaan hamil? “
Saat ditanya Dewi Retno Roso Wulan diam tidak menjawab karena rasa takutnya kepada ayahandanya, akhirnya Dewi Retno Roso Wulan kembali ke hiutan untuk mencari suaminya yaitu Syeh Maulana Maghribi ayah dari anak yang dikandungnya itu. Ditengah perjalanannya Dewi Retno Roso Wulan melahirkan seorang bayi laki-laki yang keliahatan lucu, tempat dimana Dewi Retno Roso Wulan melahirkan bayi itu sampai sekarang diberi nama Desa BABAR.
Setelah si Jabang bayi lahir niat untuk mencari Syeh Maulana Maghribi ayah dari bayi itu oleh Dewi Retno Roso Wulan tetap dilanjutkan dan saat mencari ayah si bayi Dewi Retno Roso Wulan masih dalam keadaan bertapa. Kemudian bayi di letakkan di Sendang ( Mata Air. Red ) dekat Syeh Maulana Maghribi bertapa diatas pohon Giyanti. Setelah melihat istrinya datang dengan bayinya Syeh Maulana Maghribi turun dari pertapaannya untuk menimang bayi yang putranya sendiri hasil pernikahannya dengan Dewi Retno Roso Wulan, entah ada rahasia apa yang kemudian bayi itu dibuatkan tempat yang sangat indah dan terbuat dari emas yang disebut BOKOR KENCONO.

Sementara itu Dewi Kasihan ditinggal wafat suami tercintanya yang bernama Aryo Pananggungan dan belum dikaruniai keturunan, karena sayangnya Dewi Kasihan terhadap suaminya walau sudah wafat setiap malam ia selalu menengok makam suaminya. Pada saat itu Syeh Maulan Maghribi membawa putranya yang telah dimasukkan ke Bokor Kencono kemudian diletakkan didekat makam Aryo Pananggungan tersebut.
Di malam itu juga kebetulan Dewi Kasihan keluar dari rumah menengok arah makam suaminya, ternyata didekat makam suaminya ada Bokor Kencono yang sangat indah tersebut dan ternyata didalamnya ada bayi yang sangat mungil dan sangat lucu.
Disaat itu pula Dewi Kasian sangat terperanjat hatinya ketika melihat si jabang bayi, lalu diambilnya jabang bayi itu lalu dibawa pulang. Kabar mengenai orang meninggal bias memberikan anak pada istri jandanya telah tersiar sampai kepelosok negeri.
Masyarakat berbondong-bondong ingin melihat kebenaran berita tersebut. Akhirnya Dewi Kasihan yang semula tidak memiliki harta benda namun dengan adanya kabar tersebut yang bisa mendatangkan banyak orang dan banyak memberikan uluran tangan kepada Dewi Kasihan sehingga lambat laun Dewi Kasihan menjadi kaya raya berkat uluran tangan dari orang-orang yang dating melihat bayi tersebut. Jabang bayi tersebut oleh Dewi Kasihan diberi nama JOKO TARUB.
Nama JOKO TARUB diambil dari kata TARUBAN yang diatas makam suaminya, karena saat jabang bayi diambil Dewi Kasihan berada diatas makam ARYA PENANGGUNGAN atau suaminya, dimana makam tersebut dibuat bangunan TARUBAN.
Pada usia kanak-kanak JOKO TARUBmempunyai kegemaran menangkap kupu-kupu di lading, setelah dewasa JOKO TARUB mulai berani masuk hutan untuk mencari burung-burung dihutan pada suatu saat Joko Tarub sedang mencari burung dihutan Joko Tarub bertemu dengan orang tua yang memberikan bimbingan ilmu Agama dan diberi aji-aji ( Pusaka. Red ) yang diberi nama “ TULUP TUNJUNG LANANG “.
Diwaktu mendapat pusaka berupa tulup tersebut JokoTarub langsung bergegas pulang untuk menyampaikan berita tersebut kepada ibu asuhnya yakni Dewi Kasian,selain itu juga Joko Tarub bercerita bahwa di tengah hutan Joko Tarub telah berjumpa dengan orang yang sudah sangat tua, dalam pertemuannya itulah Joko Tarub diberi Pusaka berupa sebuah TULUP ( Sumpit. Red ) yang diberi nama “ TULUP TUNJUNG LANANG “, mengingat rasa sayangnya kepada Joko Tarub anak satu-satunya Dewi Kasihan tidak memperbolehkan lagi Joko Tarub pergi ke hutan untuk mencari burung, mereka khawatir kalua anak satu-satunya ini diterkam binatang buas atau dibunuh orang yang tidak senang dengan Joko Tarub. Namun Joko Tarub tidak takut lebih-lebih sekarang dia telah memiliki bekal pusaka Tulup Tunjung Lanang, maka Joko Tarub masih saja senang masuk hutan untuk berburukususnya burung-burung.
Kebiasaan berburu burung tetap saja dilakukan oleh Joko Tarub sehingga pada suatu ketika saat Joko Tarub sampai di atas pegunungan, dia mendengar suara burung perkutut yang sangat indah sekali suaranya. Kemudian pelan-pelan Joko Tarub mendekati arah suara burung perkutut itu berada, setelah menemukannya langsung Joko Tarub melepaskan anak tulup itu kearah burung tersebut, namun usahanya gagal. Dan kegagalannya itu membuat si Joko Tarub berfiki dan beranggapan bahwa burung Perkutut itu pasti bukan sembarang burung atau bukan burung Perkutut biasa.
Usaha berburu burung dilanjutkan hingga terdengar lagi suara burung dari arah selatan, kemudian dia dekati lagi dengan sangat pelan-pelan lalu dilepaskannya lagi anak tulup kearah burung tersebut, akan tetapi tidak mengenainya lagi dan ternyata anak tulup justru mengenai dahan pohon jati dimana burung perkutut itu hinggap dan bersuara. Dan tempat yang ditinggalkan burung perkutut tadi sekarang diberi nama “ KARANG GETAS “.
Usaha berburu burung selalu gagal sehingga Joko Tarub merasa sedih, karena kesedihannya maka Joko Tarub memberinya nama “ DUKUH SEDAH “.
Kemudian terdengar lagi suara burung dari arah yang sama didekati dengan pelan-pelan dan pada posisi yang strategis dan burung dalam keadaan terpojok, maka anak
Tulup pun kembali dilepaskan namun tidak kena lagi dan burung pun terbang kea rah selatan lagi, dan tempat tersebut diberi nama “ DUKUH POJOK “. Akan tetapi Si Joko Tarub pemuda yang tidah mudah putus asa maka upaya memburu burung perkutut tadi terus saja dilakukan. Burung perkutut yang dia buru tadi terbang kea rah selatan terus dan hinggap di sebuah pohon asam, Joko Tarub selalu berusaha melepaskan anak tulupnya kearah burung tersebut akan tetapi usahanya selalu gagal dan burung itu terbang lagi menuju arah selatan terus. Dan tempat burung perkutut hinggap di pohon asam tadi dan tempat yang ditinggalkan diberi nama “ DUKUH KARANGASEM “
Sambil mengejar burung perkutut yang selaluterbang menuju arah selatan Joko tarub sambil merenungi burung tersebut, dalam ucapannya mengatakan ini burung yang wajar ataukah burung yang merupakan godaan? Dan tempat Joko Tarub merenungkan burung tersebut maka diberi nama “ DUKUH GODAN”. Setelah merenung sesaat lantas Joko Tarub kembali bergegas untuk mengejar burung buruannya tadi yang menuju kea rah selatan dan terus keselatan, dan tempat melihat burung terbang menuju arah selatan Joko Tarub memberikan nama “ DUKUH JENTIR”.
Karena kemauannya yang keras Joko Tarub terus berusaha mengejar dan melacak kea rah selatan dimana burung perkutut tadi terbang, ketika saat pencariannya Joko Tarub tiba disuatu tempat yakni SENDANG TELOGO dan di tepi sendang itu Joko Tarub Menancapkan Tulup Pusakanya, karena saat itu tiba waktunya Sholat Dzuhur, sambil istirahat Joko Tarub menuju kearah sendang untuk mengambil air wudlu untuk Sholat Dzuhur. Disaat Joko Tarub berwudlu tiba-tiba datanglah bidadari untuk mandi, saat itu pula ada salah satu pakain dari bidadari yng diletakkan diatas Tulup Pusaka Joko Tarub yang sedang ditancapkan ditepi sendang, setelah habis wudlu dan sholat dzuhur Joko Tarub langsung pulang tanpa membawa buah hasil buruannya kemudian sesampainya dirumah Joko tarub laporan kepada ibunya sambil berkata “ Ibunda saya berburu hari ini tidak mendapatkan satu burung pun, akantetapi saya hanya mendapatkan pakain perempuan yang ditaruh diatas tulup saya dan dia sedang mandi di SENDANG TELAGA……”
Tanpa banyak bertanya sang Ibu langsung menyimpan pakaian tersebut di ruang kusus untuk menumpuk padi ( Lumbung.red ), kemudian Joko Tarub bergegas kembali lagi ke sendang dengan membawa pakaina ibunya, setelah sampai di dekat sendang ternyata para bidadari sudah terbang, dan masih ada yang tertinggal satu bidadari yang masih berada di tepi sendang Telogo dengan menangis sedih sambil berkata “ Sopo sing biso nulung aku, yen wadon dadi sedulur sinoro wedi, yen kakung tak dadekke bojoku “ artinya “ Barang siapa yang bis menolong aku jika dia perempuan aku jadikan saudaraku dan jika dia laki-laki maka akan saya jadikan suami” disaat itu Joko Tarub mendekat di bawah pohon sambil melontarkan pakaian ibunya tadi, setelah berpakaian bidadari itu langsung diajak pulang ke rumah ibunya dan disampaikan kepada ibunya bahwa putrid ini adalah putri Sendang Telogo.
Sesuai dengan Ikrar atau janji sang bidadari yang menyatakan “ Sopo sing biso nulung aku, yen wadon dadi sedulur sinoro wedi, yen kakung tak dadekke bojoku “, akhirnya Joko Tarub menikah dengan bidadari yang bernama DEWI NAWANG WULAN. Adapun sendang yang digunakan untuk mandi bidadari diberi nama “ SENDANG TELOGO BIDADARI “ yang berada di DUKUH SREMAN desa POJOK Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Tanah Sendang Telaga Bidadari tersebut milik Keraton SURAKARTA HAININGRAT atau disebut TANAH PERDIKAN, dan sampai saat ini lokasi Sendang Bidadari oleh masyarakat masih dikeramatkan kususnya pada malam 10 Muharam.
Setelah Joko Tarub menikah dengan Dewi Nawang Wulan mendapat gelar KI AGENG atau SUNAN TARUB, beliau menyebarkan Agama islam untuk meneruskan perjuangan ayahandanya yakni Syekh Maulana Maghribi. Dalam pernikahannya beliau dikaruniai seorang keturunan yang diberi nama DEWI NAWANGSIH.
Pada saat masih bayi Dewi Nawangsih mengalami riwayat yang sangat hebat. Dikala Dewi Nawangsih di ayunan, ibunya hendak berangkat mencuci pakaian disungai yang terletak tidak begitu jauh dari rumah kediaman Ki Sunan Tarub berpesan kepada suaminya yakni Ki Ageng Tarub agar mengayun putrinya yang sedang terlelap tidur dan jangan sampai membuka KEKEP ( penutup dandang.red). Berangkatlah Dewi Nawang Wulan untuk mencuci pakaian ke sungai, namun setelah Dewi Nawang Wulan pergi kesuangai rasa ingin tahu Ki Ageng Tarub terhadap pesan istrinya timbul dan semakin penasaran apa yang sebenarnya dimasak oleh istrinya sampai beliau berpesan seperti itu,
kemudian diam-diam Ki Ageng Tarub membuka kekep itu, setelah melihat yang ada dalam kukusan beliau sangat terkejut ternyata yang dimasak istrinya hanyalah seuntai padi. Tidak lama kemudian Dewi Nawang Wulan dating dan langsung membuka masakan tersebut dan ternyata masakan masih utuh berupa padi untaian.
Kemudian Dewi Nawang Wulan bertanya kepada suaminya “ Apakah Ki Ageng membuka kekep itu? “ Dengan jujur Ki Ageng Tarub menjawab “ Ya memang aku membukanya istriku”
Melihat kejadian itu Dewi Nawang Wulan menyadari sehingga beliau meminta kepada Ki Ageng Tarub untuk dibuatkan peralatan dapur yang berupa Lesung, Alu dan Tampah.
Setelah kejadian itu Dewi Nawang Wulan sebelum memasak beras untuk menjadi nasi harus menumbuk padi terlebih dahulu, sehingga lambat laun padi yang berada di lumbung semakin lama semakin habis. Setelah tumpukan padi semakin menipis dan sampai tumpukan yang paling bawah yaitu padi ketan hitam ternyata ada pakainnya yang dulu hilang disaat mandi diletakkan di tepi telaga diatas tulup Jaka Tarub yang kemudian diberikan kepada diberikan kepada ibu Jaka Tarub dan oleh ibu Jaka Tarub diletakkan di bawah tumpukan padi kemudian diambilnya pakaian tersebut oleh Dwi Nawang Wulan dan terus menghadap Jaka Tarub.
Dengan diketemukan pakaian Dewi Nawang Wulan timbullah niat Dewi Nawang Wulan untuk kembali ke asalnya yaitu alam Kawidodaren ( Alam Bidadari ).
Dewi Nawang Wulan sebelum pergi berpesan kepada suaminya si Jaka Tarub, bila putrinya menangis minta disusui agar diletakkan di depan rumah di atas anjang-anjang.
Sesampainya di alam kawidodaren, Dewi Nawang Wulan tidak diterima oleh Ayahandanya karena telah dianggap melanggar Pranatan ( Peraturan. Red ) yang ada di alam kawidodaren, sehingga Dewi Nawang Wulan berniat menuju ke Laut Selatan, sesampainya di Laut Selatan Dewi Nawang Wulan berperang dengan Nyai Roro Kidul sebagai penguasa laut selatan dan akhirnya Nyai Roro Kidul mampu di taklukkan oleh Dewi Nawang Wulan dan akhirnya Laut Selatan menjadi kekuasaan Dewi Nawang Wulan dan Nyai Roro Kidul menjadi Punggawa Dewi Nawang Wulan.
Pada waktu itu kerajaan Majapahit diperintah oleh Prabu Brawijaya V. Sepeninggal permaisuri sang prabu sakit dan tidak mau menduduki kursi kerajaan. Suatu malam sang Prabu bermimpi bila sakitnya ingin sembuh Sang Prabu harus mengawini PUTRI WIRI KUNING, kemudian sang Prabu terbangun dari tidurnya dan memanggil Sang Patih kemudian sang Patih diperintah untuk mengumpulkan semua putrid-putri yang ada di Kerajaan. Setelah putri-putri dikumpulkan oleh sang patih setiap putrid diteliti dan dicocokkan dengan impian sang Prabu. Setelah diteliti satu per satu dan dicocokkan dengan impian sang Prabu ternyata Putri Wiri Kuning adalah pembantu sang Prabu sendiri, kemudian pembantunya di sunting dan di peristri oleh sang Prabu. Dan tidak begitu lama dari Pernikahan sang Prabu dengan Dewi Wiri Kuning nampaklah tanda-tanda kehamilan Dewi Wiri Kuning dan waktu terus berjalan hingga tiba waktunya lahirlah seorang jabang bayi, kemudian sang Prabu memanggil Ki Juru Martani untuk mengasuh dan mendidik bayi tersebut.
Jabang bayi yang telah diserahkan Prabu Brawijaya V kepada Ki Juru Martani adalah seorang anak laki-laki kemudian diberi nama BONDAN KEJAWAN, suatu saat ketika Bondan Kejawan sudah tumbuh semakin besar, tahu bahwa ayah asuhnya hendak membayar pajak ( upeti ) ke Kerajaan majapahit dan saat itu pula Bondan Kejawan juga mendengar ayahnya hendak pergi ke Kerajaan maka Bondan Kejawan berniat akan ikut ayah asuhnya ke Kerajaan, namun oleh ayah asuhnya tidak diijinkan untuk ikut karena dianggap masih terlalu anak-anak takut mengganggu pisowanan ayah asuhnya di Kerajaan.
Dengan tidak diperbolehkannya Bondan Kejawan mengikuti ayah asuhnya pergi ke Kerajaan, Bondan Kejawan nekat lari dulu dan sampailah Bondan Kejawan di Kerajaan Majapahit. Sesampainya di Kerajaan Bondan Kejawan langsung masuk Keraton dan langsung naik di atas kursi Raja, kemudian menabuh bende ( Gong. Red ). Mendengar bende Kerajaan berbunyi Sang Prabu sangat marah kemudian anak itu di tangkap dan dan kemudian dimasukkan ke dalam sel penjara Kerajaan.
Tidak begitu lama dari kejadian itu kemudian datanglah Ki Juru Martani dengan membawa padi yang digunakan untuk membayar Upeti , selesai membayar upeti ( pajak ) kemudia Ki Juru Martani menghadap baginda raja Sang Prabu Brawijaya V dan menanyakan anak kecil yang masuk di kerajaan dan membunyikan bende kerajaan,
kemudian diberitahukan kepada Sang Prabu bahwa anak tersebut diberi nama Bondan Kejawan adalah putra Sang Prabu Brawijaya sendiri yang diasuh oleh Ki Juru Martani.
Sang Prabu sedikit terkejut kemudian memanggil anak kecil tersebut sambil membawa cermin untuk melihat wajah Sang Prabu Sendiri, setelah melihat anak tersebut dan bercermin ternyata raut wajah BONDAN KEJAWAN mirip sekali dengan Raut wajah Sang Prabu Brawijaya V sendiri. Sang Prabu Brawijaya V baru yakin dan percaya bahwa anak tersebut ternyata puteranya sendiri. Selanjutnya Ki Juru Martani diperintah Sang Prabu untuk mengantarkan puteranya kepada saudaranya yaitu Ki Ageng Tarub, agar puteranya diasuh dan dididik agama Islam oleh Ki Ageng Tarub.
Dengan pendidikan ilmu agam islam dan budi pekerti dari Ki Ageng Tarub, maka BONDAN KEJAWAN tumbuh sebagai anak dewasa yang menguasai banyak hal termasuk ajaran agama Islam. Dengan tingkah laku dan budi pekerti yang baik, pengetahuan yang luas serta kepribadian yang matang, timbullah niat BONDAN KEJAWAN untuk berumah tangga.
Karena Bondan Kejawan sudah dewasa menurut Ki Ageng Tarub dia memiliki kepribadian yang baik maka dijodohkan dengan putre Ki Ageng Tarub sendiri yakni Dewi Nawangsih, dan oleh Ki Ageng Tarub BONDAN KEJAWAN disuruh untuk melanjutkan perjuangannya mengembangkan ilmu dan ajaran agama islam.
Dari Pernikahan Bondan Kejawan dengan Dewi Nawangsih beliau dikaruniai keturunan yang di beri nama KI AGENG GETAS PENDOWO, dan kemudian setelah menikah KI AGENG GETAS PENDOWO dikaruniai putera di beri nama KI AGENG SELO ( SYECH ABDURROHMAN ), dari beliaulah terlahir Raja-raja besar di Tanah Jawa.
Setelah KI AGENG TARUB wafat kemudian di makamkan di Desa Tarub Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Dan sampai sekarang makam KI AGENG TARUB banyak di kunjungi para pelaku spiritual yang Ziarah disana dari berbagai daerah di seluruh wilayah Negara Indonesia, bahkan di setiap Tahunnya masih rutin dilaksanakan acara Ritual HAUL KI AGENG TARUB yang selalu dihadiri dari Punggawa Keraton Surakarta Hadiningrat.
Adapun tepatnya Haul Ki Ageng Tarub dilaksanakan tepat tanggal 15 Syafar disetiap tahunnya, adapun acara bulanan rutin berupa Dzikir dan Istigotsah bersama dilaksanakan pada setiap malam Purnama ( tanggal 14 Purnama ).

 
SEJARAH SINGKAT KI AGENG TARUB
Kurang lebih pada tahun 1300 M ada utusan ( Mubaligh ) dari Arab yaitu Syeh Jumadil Kubro beliau mempunyai putri bernama Thobiroh dan Thobiroh mempunyai putra Syeh Maulana Maghribi. Pada saat itu beliau mendapat perintah untuk mengembangkan Syiar agama Islam di Tanah Jawa, karena pada saat itu orang-orang jawa masih memeluk agam Budha serta pada saat itu juga orang-orang jawa masih ahli dalam bertapa dalam hal mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, sehingga orang-orang Tanah Jawa banyak yang istilah jawa disebut “ Ora Tedhas Papak Palu ning Pande “ ( Kebal kulitnya terhadap senjata apapun ).
Kemudian Syeh Maulana Maghribi mulai memasukkan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat Jawa dalam berKhalwat untuk mendekatkan diri kepada ALLAH dengan cara bertapa pula sehingga seperti budaya masyarakat Jawa yang masih beragama budha dengan maksud untuk menarik perhatian masyarakat jawa untuk bias memeluk agama Islam. Namun cara bertapa yang dilakukan oleh Syeh Maulana Maghribi lain dengan cara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa umumnya, Syeh Maulana Maghribi dalam bertapa dengan cara naik ke atas pohon dengan menggelantungkan badannya seperti kelelawar cara seperti ini oleh masyarakat Jawa disebut dengan bertapa Ngalong ( Kalong ) kemudian dalam bertapa Syeh Maulana Maghribi bertemu dengan putrid Bupati Tuban I yang bernama DEWI RETNO ROSO WULAN adik perempuan R. Sahid ( Sunan Kalijaga ). Yang saat itu Dewi Retno Roso Wulan diperintah oleh Ayahandanya Adipati Wilotikto untuk melakukan bertapa Ngidang dengan cara masuk hutan selama 7 tahun tidah boleh pulang dan tidak boleh makan kecuali makan daun-daun yang berada di hutan.
Perintah bertapa ini dilakukan oleh Dewi Retno Roso Wulan agar supaya cita-citanya untuk bertemu dengan kakaknya Raden Sahid dapat terwujud. Namun dalam proses pencarian R. Sahid berjalan ia bertemu dengan Syeh Maulana Maghribi, pertemuan ini terjadi pada saat masih menjalankan bertapa, dan dari pertemuannya ini mereka terjalin rasa saling mencintai dan saling ada kecocokan yang akhirnya menjadi suami istri . Pertemuan keduanya yang sudah menjadi suami istri, dilanjutkan dengan pulang ke Adipati Tuban untuk menghadap Ayahandanya, tetapi Dewi Retno Roso Wulan yang sudah dalam keadaan hamil pulang seorang diri dan tidak bersama suaminya Syeh Maulana Maghribi. Sesampainya di Kadipaten Tuban Dewi Retno Roso Wulan ditanya oleh Ayahandanya “ Siapa Suamimu, sehingga kamu pulang dalam keadaan hamil? “
Saat ditanya Dewi Retno Roso Wulan diam tidak menjawab karena rasa takutnya kepada ayahandanya, akhirnya Dewi Retno Roso Wulan kembali ke hiutan untuk mencari suaminya yaitu Syeh Maulana Maghribi ayah dari anak yang dikandungnya itu. Ditengah perjalanannya Dewi Retno Roso Wulan melahirkan seorang bayi laki-laki yang keliahatan lucu, tempat dimana Dewi Retno Roso Wulan melahirkan bayi itu sampai sekarang diberi nama Desa BABAR.
Setelah si Jabang bayi lahir niat untuk mencari Syeh Maulana Maghribi ayah dari bayi itu oleh Dewi Retno Roso Wulan tetap dilanjutkan dan saat mencari ayah si bayi Dewi Retno Roso Wulan masih dalam keadaan bertapa. Kemudian bayi di letakkan di Sendang ( Mata Air. Red ) dekat Syeh Maulana Maghribi bertapa diatas pohon Giyanti. Setelah melihat istrinya datang dengan bayinya Syeh Maulana Maghribi turun dari pertapaannya untuk menimang bayi yang putranya sendiri hasil pernikahannya dengan Dewi Retno Roso Wulan, entah ada rahasia apa yang kemudian bayi itu dibuatkan tempat yang sangat indah dan terbuat dari emas yang disebut BOKOR KENCONO.

Sementara itu Dewi Kasihan ditinggal wafat suami tercintanya yang bernama Aryo Pananggungan dan belum dikaruniai keturunan, karena sayangnya Dewi Kasihan terhadap suaminya walau sudah wafat setiap malam ia selalu menengok makam suaminya. Pada saat itu Syeh Maulan Maghribi membawa putranya yang telah dimasukkan ke Bokor Kencono kemudian diletakkan didekat makam Aryo Pananggungan tersebut.
Di malam itu juga kebetulan Dewi Kasihan keluar dari rumah menengok arah makam suaminya, ternyata didekat makam suaminya ada Bokor Kencono yang sangat indah tersebut dan ternyata didalamnya ada bayi yang sangat mungil dan sangat lucu.
Disaat itu pula Dewi Kasian sangat terperanjat hatinya ketika melihat si jabang bayi, lalu diambilnya jabang bayi itu lalu dibawa pulang. Kabar mengenai orang meninggal bias memberikan anak pada istri jandanya telah tersiar sampai kepelosok negeri.
Masyarakat berbondong-bondong ingin melihat kebenaran berita tersebut. Akhirnya Dewi Kasihan yang semula tidak memiliki harta benda namun dengan adanya kabar tersebut yang bisa mendatangkan banyak orang dan banyak memberikan uluran tangan kepada Dewi Kasihan sehingga lambat laun Dewi Kasihan menjadi kaya raya berkat uluran tangan dari orang-orang yang dating melihat bayi tersebut. Jabang bayi tersebut oleh Dewi Kasihan diberi nama JOKO TARUB.
Nama JOKO TARUB diambil dari kata TARUBAN yang diatas makam suaminya, karena saat jabang bayi diambil Dewi Kasihan berada diatas makam ARYA PENANGGUNGAN atau suaminya, dimana makam tersebut dibuat bangunan TARUBAN.
Pada usia kanak-kanak JOKO TARUBmempunyai kegemaran menangkap kupu-kupu di lading, setelah dewasa JOKO TARUB mulai berani masuk hutan untuk mencari burung-burung dihutan pada suatu saat Joko Tarub sedang mencari burung dihutan Joko Tarub bertemu dengan orang tua yang memberikan bimbingan ilmu Agama dan diberi aji-aji ( Pusaka. Red ) yang diberi nama “ TULUP TUNJUNG LANANG “.
Diwaktu mendapat pusaka berupa tulup tersebut JokoTarub langsung bergegas pulang untuk menyampaikan berita tersebut kepada ibu asuhnya yakni Dewi Kasian,selain itu juga Joko Tarub bercerita bahwa di tengah hutan Joko Tarub telah berjumpa dengan orang yang sudah sangat tua, dalam pertemuannya itulah Joko Tarub diberi Pusaka berupa sebuah TULUP ( Sumpit. Red ) yang diberi nama “ TULUP TUNJUNG LANANG “, mengingat rasa sayangnya kepada Joko Tarub anak satu-satunya Dewi Kasihan tidak memperbolehkan lagi Joko Tarub pergi ke hutan untuk mencari burung, mereka khawatir kalua anak satu-satunya ini diterkam binatang buas atau dibunuh orang yang tidak senang dengan Joko Tarub. Namun Joko Tarub tidak takut lebih-lebih sekarang dia telah memiliki bekal pusaka Tulup Tunjung Lanang, maka Joko Tarub masih saja senang masuk hutan untuk berburukususnya burung-burung.
Kebiasaan berburu burung tetap saja dilakukan oleh Joko Tarub sehingga pada suatu ketika saat Joko Tarub sampai di atas pegunungan, dia mendengar suara burung perkutut yang sangat indah sekali suaranya. Kemudian pelan-pelan Joko Tarub mendekati arah suara burung perkutut itu berada, setelah menemukannya langsung Joko Tarub melepaskan anak tulup itu kearah burung tersebut, namun usahanya gagal. Dan kegagalannya itu membuat si Joko Tarub berfiki dan beranggapan bahwa burung Perkutut itu pasti bukan sembarang burung atau bukan burung Perkutut biasa.
Usaha berburu burung dilanjutkan hingga terdengar lagi suara burung dari arah selatan, kemudian dia dekati lagi dengan sangat pelan-pelan lalu dilepaskannya lagi anak tulup kearah burung tersebut, akan tetapi tidak mengenainya lagi dan ternyata anak tulup justru mengenai dahan pohon jati dimana burung perkutut itu hinggap dan bersuara. Dan tempat yang ditinggalkan burung perkutut tadi sekarang diberi nama “ KARANG GETAS “.
Usaha berburu burung selalu gagal sehingga Joko Tarub merasa sedih, karena kesedihannya maka Joko Tarub memberinya nama “ DUKUH SEDAH “.
Kemudian terdengar lagi suara burung dari arah yang sama didekati dengan pelan-pelan dan pada posisi yang strategis dan burung dalam keadaan terpojok, maka anak
Tulup pun kembali dilepaskan namun tidak kena lagi dan burung pun terbang kea rah selatan lagi, dan tempat tersebut diberi nama “ DUKUH POJOK “. Akan tetapi Si Joko Tarub pemuda yang tidah mudah putus asa maka upaya memburu burung perkutut tadi terus saja dilakukan. Burung perkutut yang dia buru tadi terbang kea rah selatan terus dan hinggap di sebuah pohon asam, Joko Tarub selalu berusaha melepaskan anak tulupnya kearah burung tersebut akan tetapi usahanya selalu gagal dan burung itu terbang lagi menuju arah selatan terus. Dan tempat burung perkutut hinggap di pohon asam tadi dan tempat yang ditinggalkan diberi nama “ DUKUH KARANGASEM “
Sambil mengejar burung perkutut yang selaluterbang menuju arah selatan Joko tarub sambil merenungi burung tersebut, dalam ucapannya mengatakan ini burung yang wajar ataukah burung yang merupakan godaan? Dan tempat Joko Tarub merenungkan burung tersebut maka diberi nama “ DUKUH GODAN”. Setelah merenung sesaat lantas Joko Tarub kembali bergegas untuk mengejar burung buruannya tadi yang menuju kea rah selatan dan terus keselatan, dan tempat melihat burung terbang menuju arah selatan Joko Tarub memberikan nama “ DUKUH JENTIR”.
Karena kemauannya yang keras Joko Tarub terus berusaha mengejar dan melacak kea rah selatan dimana burung perkutut tadi terbang, ketika saat pencariannya Joko Tarub tiba disuatu tempat yakni SENDANG TELOGO dan di tepi sendang itu Joko Tarub Menancapkan Tulup Pusakanya, karena saat itu tiba waktunya Sholat Dzuhur, sambil istirahat Joko Tarub menuju kearah sendang untuk mengambil air wudlu untuk Sholat Dzuhur. Disaat Joko Tarub berwudlu tiba-tiba datanglah bidadari untuk mandi, saat itu pula ada salah satu pakain dari bidadari yng diletakkan diatas Tulup Pusaka Joko Tarub yang sedang ditancapkan ditepi sendang, setelah habis wudlu dan sholat dzuhur Joko Tarub langsung pulang tanpa membawa buah hasil buruannya kemudian sesampainya dirumah Joko tarub laporan kepada ibunya sambil berkata “ Ibunda saya berburu hari ini tidak mendapatkan satu burung pun, akantetapi saya hanya mendapatkan pakain perempuan yang ditaruh diatas tulup saya dan dia sedang mandi di SENDANG TELAGA……”
Tanpa banyak bertanya sang Ibu langsung menyimpan pakaian tersebut di ruang kusus untuk menumpuk padi ( Lumbung.red ), kemudian Joko Tarub bergegas kembali lagi ke sendang dengan membawa pakaina ibunya, setelah sampai di dekat sendang ternyata para bidadari sudah terbang, dan masih ada yang tertinggal satu bidadari yang masih berada di tepi sendang Telogo dengan menangis sedih sambil berkata “ Sopo sing biso nulung aku, yen wadon dadi sedulur sinoro wedi, yen kakung tak dadekke bojoku “ artinya “ Barang siapa yang bis menolong aku jika dia perempuan aku jadikan saudaraku dan jika dia laki-laki maka akan saya jadikan suami” disaat itu Joko Tarub mendekat di bawah pohon sambil melontarkan pakaian ibunya tadi, setelah berpakaian bidadari itu langsung diajak pulang ke rumah ibunya dan disampaikan kepada ibunya bahwa putrid ini adalah putri Sendang Telogo.
Sesuai dengan Ikrar atau janji sang bidadari yang menyatakan “ Sopo sing biso nulung aku, yen wadon dadi sedulur sinoro wedi, yen kakung tak dadekke bojoku “, akhirnya Joko Tarub menikah dengan bidadari yang bernama DEWI NAWANG WULAN. Adapun sendang yang digunakan untuk mandi bidadari diberi nama “ SENDANG TELOGO BIDADARI “ yang berada di DUKUH SREMAN desa POJOK Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Tanah Sendang Telaga Bidadari tersebut milik Keraton SURAKARTA HAININGRAT atau disebut TANAH PERDIKAN, dan sampai saat ini lokasi Sendang Bidadari oleh masyarakat masih dikeramatkan kususnya pada malam 10 Muharam.
Setelah Joko Tarub menikah dengan Dewi Nawang Wulan mendapat gelar KI AGENG atau SUNAN TARUB, beliau menyebarkan Agama islam untuk meneruskan perjuangan ayahandanya yakni Syekh Maulana Maghribi. Dalam pernikahannya beliau dikaruniai seorang keturunan yang diberi nama DEWI NAWANGSIH.
Pada saat masih bayi Dewi Nawangsih mengalami riwayat yang sangat hebat. Dikala Dewi Nawangsih di ayunan, ibunya hendak berangkat mencuci pakaian disungai yang terletak tidak begitu jauh dari rumah kediaman Ki Sunan Tarub berpesan kepada suaminya yakni Ki Ageng Tarub agar mengayun putrinya yang sedang terlelap tidur dan jangan sampai membuka KEKEP ( penutup dandang.red). Berangkatlah Dewi Nawang Wulan untuk mencuci pakaian ke sungai, namun setelah Dewi Nawang Wulan pergi kesuangai rasa ingin tahu Ki Ageng Tarub terhadap pesan istrinya timbul dan semakin penasaran apa yang sebenarnya dimasak oleh istrinya sampai beliau berpesan seperti itu,
kemudian diam-diam Ki Ageng Tarub membuka kekep itu, setelah melihat yang ada dalam kukusan beliau sangat terkejut ternyata yang dimasak istrinya hanyalah seuntai padi. Tidak lama kemudian Dewi Nawang Wulan dating dan langsung membuka masakan tersebut dan ternyata masakan masih utuh berupa padi untaian.
Kemudian Dewi Nawang Wulan bertanya kepada suaminya “ Apakah Ki Ageng membuka kekep itu? “ Dengan jujur Ki Ageng Tarub menjawab “ Ya memang aku membukanya istriku”
Melihat kejadian itu Dewi Nawang Wulan menyadari sehingga beliau meminta kepada Ki Ageng Tarub untuk dibuatkan peralatan dapur yang berupa Lesung, Alu dan Tampah.
Setelah kejadian itu Dewi Nawang Wulan sebelum memasak beras untuk menjadi nasi harus menumbuk padi terlebih dahulu, sehingga lambat laun padi yang berada di lumbung semakin lama semakin habis. Setelah tumpukan padi semakin menipis dan sampai tumpukan yang paling bawah yaitu padi ketan hitam ternyata ada pakainnya yang dulu hilang disaat mandi diletakkan di tepi telaga diatas tulup Jaka Tarub yang kemudian diberikan kepada diberikan kepada ibu Jaka Tarub dan oleh ibu Jaka Tarub diletakkan di bawah tumpukan padi kemudian diambilnya pakaian tersebut oleh Dwi Nawang Wulan dan terus menghadap Jaka Tarub.
Dengan diketemukan pakaian Dewi Nawang Wulan timbullah niat Dewi Nawang Wulan untuk kembali ke asalnya yaitu alam Kawidodaren ( Alam Bidadari ).
Dewi Nawang Wulan sebelum pergi berpesan kepada suaminya si Jaka Tarub, bila putrinya menangis minta disusui agar diletakkan di depan rumah di atas anjang-anjang.
Sesampainya di alam kawidodaren, Dewi Nawang Wulan tidak diterima oleh Ayahandanya karena telah dianggap melanggar Pranatan ( Peraturan. Red ) yang ada di alam kawidodaren, sehingga Dewi Nawang Wulan berniat menuju ke Laut Selatan, sesampainya di Laut Selatan Dewi Nawang Wulan berperang dengan Nyai Roro Kidul sebagai penguasa laut selatan dan akhirnya Nyai Roro Kidul mampu di taklukkan oleh Dewi Nawang Wulan dan akhirnya Laut Selatan menjadi kekuasaan Dewi Nawang Wulan dan Nyai Roro Kidul menjadi Punggawa Dewi Nawang Wulan.
Pada waktu itu kerajaan Majapahit diperintah oleh Prabu Brawijaya V. Sepeninggal permaisuri sang prabu sakit dan tidak mau menduduki kursi kerajaan. Suatu malam sang Prabu bermimpi bila sakitnya ingin sembuh Sang Prabu harus mengawini PUTRI WIRI KUNING, kemudian sang Prabu terbangun dari tidurnya dan memanggil Sang Patih kemudian sang Patih diperintah untuk mengumpulkan semua putrid-putri yang ada di Kerajaan. Setelah putri-putri dikumpulkan oleh sang patih setiap putrid diteliti dan dicocokkan dengan impian sang Prabu. Setelah diteliti satu per satu dan dicocokkan dengan impian sang Prabu ternyata Putri Wiri Kuning adalah pembantu sang Prabu sendiri, kemudian pembantunya di sunting dan di peristri oleh sang Prabu. Dan tidak begitu lama dari Pernikahan sang Prabu dengan Dewi Wiri Kuning nampaklah tanda-tanda kehamilan Dewi Wiri Kuning dan waktu terus berjalan hingga tiba waktunya lahirlah seorang jabang bayi, kemudian sang Prabu memanggil Ki Juru Martani untuk mengasuh dan mendidik bayi tersebut.
Jabang bayi yang telah diserahkan Prabu Brawijaya V kepada Ki Juru Martani adalah seorang anak laki-laki kemudian diberi nama BONDAN KEJAWAN, suatu saat ketika Bondan Kejawan sudah tumbuh semakin besar, tahu bahwa ayah asuhnya hendak membayar pajak ( upeti ) ke Kerajaan majapahit dan saat itu pula Bondan Kejawan juga mendengar ayahnya hendak pergi ke Kerajaan maka Bondan Kejawan berniat akan ikut ayah asuhnya ke Kerajaan, namun oleh ayah asuhnya tidak diijinkan untuk ikut karena dianggap masih terlalu anak-anak takut mengganggu pisowanan ayah asuhnya di Kerajaan.
Dengan tidak diperbolehkannya Bondan Kejawan mengikuti ayah asuhnya pergi ke Kerajaan, Bondan Kejawan nekat lari dulu dan sampailah Bondan Kejawan di Kerajaan Majapahit. Sesampainya di Kerajaan Bondan Kejawan langsung masuk Keraton dan langsung naik di atas kursi Raja, kemudian menabuh bende ( Gong. Red ). Mendengar bende Kerajaan berbunyi Sang Prabu sangat marah kemudian anak itu di tangkap dan dan kemudian dimasukkan ke dalam sel penjara Kerajaan.
Tidak begitu lama dari kejadian itu kemudian datanglah Ki Juru Martani dengan membawa padi yang digunakan untuk membayar Upeti , selesai membayar upeti ( pajak ) kemudia Ki Juru Martani menghadap baginda raja Sang Prabu Brawijaya V dan menanyakan anak kecil yang masuk di kerajaan dan membunyikan bende kerajaan,
kemudian diberitahukan kepada Sang Prabu bahwa anak tersebut diberi nama Bondan Kejawan adalah putra Sang Prabu Brawijaya sendiri yang diasuh oleh Ki Juru Martani.
Sang Prabu sedikit terkejut kemudian memanggil anak kecil tersebut sambil membawa cermin untuk melihat wajah Sang Prabu Sendiri, setelah melihat anak tersebut dan bercermin ternyata raut wajah BONDAN KEJAWAN mirip sekali dengan Raut wajah Sang Prabu Brawijaya V sendiri. Sang Prabu Brawijaya V baru yakin dan percaya bahwa anak tersebut ternyata puteranya sendiri. Selanjutnya Ki Juru Martani diperintah Sang Prabu untuk mengantarkan puteranya kepada saudaranya yaitu Ki Ageng Tarub, agar puteranya diasuh dan dididik agama Islam oleh Ki Ageng Tarub.
Dengan pendidikan ilmu agam islam dan budi pekerti dari Ki Ageng Tarub, maka BONDAN KEJAWAN tumbuh sebagai anak dewasa yang menguasai banyak hal termasuk ajaran agama Islam. Dengan tingkah laku dan budi pekerti yang baik, pengetahuan yang luas serta kepribadian yang matang, timbullah niat BONDAN KEJAWAN untuk berumah tangga.
Karena Bondan Kejawan sudah dewasa menurut Ki Ageng Tarub dia memiliki kepribadian yang baik maka dijodohkan dengan putre Ki Ageng Tarub sendiri yakni Dewi Nawangsih, dan oleh Ki Ageng Tarub BONDAN KEJAWAN disuruh untuk melanjutkan perjuangannya mengembangkan ilmu dan ajaran agama islam.
Dari Pernikahan Bondan Kejawan dengan Dewi Nawangsih beliau dikaruniai keturunan yang di beri nama KI AGENG GETAS PENDOWO, dan kemudian setelah menikah KI AGENG GETAS PENDOWO dikaruniai putera di beri nama KI AGENG SELO ( SYECH ABDURROHMAN ), dari beliaulah terlahir Raja-raja besar di Tanah Jawa.
Setelah KI AGENG TARUB wafat kemudian di makamkan di Desa Tarub Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Dan sampai sekarang makam KI AGENG TARUB banyak di kunjungi para pelaku spiritual yang Ziarah disana dari berbagai daerah di seluruh wilayah Negara Indonesia, bahkan di setiap Tahunnya masih rutin dilaksanakan acara Ritual HAUL KI AGENG TARUB yang selalu dihadiri dari Punggawa Keraton Surakarta Hadiningrat.
Adapun tepatnya Haul Ki Ageng Tarub dilaksanakan tepat tanggal 15 Syafar disetiap tahunnya, adapun acara bulanan rutin berupa Dzikir dan Istigotsah bersama dilaksanakan pada setiap malam Purnama ( tanggal 14 Purnama ).

 
kE 2

Cerita Ki Ageng Tarub

         Timbulnya tradisi tarub erat kaitanya dengan legenda Ki Ageng Tarub II ( ketika muda bernama Jaka Tarub atau Raden Kidang Tlangkas ) ketika menikahkan putrinya bernama Dewi Nawangsih denga Raden Lembu Peteng atau Raden Bondhan Kejawan ( Suegijarto, 2002 : 34-35 dan 45 ). Bondan Kejawan adalah putra ke-14 Prabu Brawijaya kemudian menitipkan bayinya kepada Ki Buyut Musayar, seorang juru  sawah Abdi Dalem Keraton Majapahit, ketika bayi telah tumbuh menjadi  pemuda berumur 16 tahun atas titah Prabu Brawijaya, Raden Bondhan Kejawan diabdikan kepada Ki Ageng Tarub II.
           Ki Ageng Tarub II ketika masih muda bernama Raden Kidang Tlangkas, Ia adalah putra Dewi Rasawulan dengan Syaikh Maulana Maghribi, Dewi Rasawulan adalah putri Tumenggung Wilatikta di Tuban, Dewi Rasawulan adalah adik dari Raden Mas Said atau Sunan Kalijaga, selain agar putranya ( Raden Bondhan kejawan ) mencari ilmu kepada Ki Ageng Tarub II, Prabu Brawijaya juga berkehendak untuk menyembunyikan Raden Bondhan Kejawan, sebab, sang Prabu Brawijaya sudah memiliki firasat bahwa Majapahit akan runtuh.
          Ketika Raden Bondhan kejawan mengabdi kepada Ki Ageng Tarub berumur 16 tahun, Ki Ageng Tarub memiliki putri bernama Dewi Nawangsih yang berumur 12 tahun, mereka saling menyatakan bersaudara atas restu Ki Ageng Tarub, sekaligus untuk menyempurnakan penyembunyian Raden bondhan dan nama Raden Bondhan Kejawan diganti menjadi Lembu Peteng.
         Setelah Lembu Peteng dewasa, timbuhlah rasa cinta kepada Dewi Nawangsih, cinta semakin membara. Untuk mengendalikan rasa cintanya, setiap siang Lembu peteng selalu pergi kesawah dan ladang untuk merasakan, menikmati dan merisaukan cintanya kepada Dewi Nawangsih, pada mulanya Dewi Nawangsih tidak mau menerima cinta Lembu Peteng karena ia merasa bersaudara ( walau saudara angkat ) dan merasa tidak sederajat, Dewi Nawangsih merasa kecil, derajatnya jauh dari Raden Lembu Peteng, setelah Ki Ageng Tarub bercerita tentang riwayat perjalanan Lembu Peteng dan cinta tidak memandang derajat, maka Dewi Nawangsih bersedia menerima cinta Lembu Peteng.
           Setelah hari pernikana antara Lembu Peteng dan Dewi Nawangsih ditentukan, Ki Ageng Tarub II menemui Sunan Kalijaga ( uwaknya / Pakdhenya ), Ki Ageng Tarub memohon do’a restu, dua hari sebelum hari pernikahan, Kanjeng Sunan Kalijaga datang di Tarub. Sunan Kalijaga memang ahli dalam berbagai ilmu, ilmu kesaktian, ilmu agama, dan ilmu seni budaya, kanjeng sunan kemudian memberikan ajaran denga cara simbolik.
         Sunan Kalijaga meerintahkan Ki Ageng Tarub II untk membuat anyaman daun kelapa, pelepah kelapa dibelah menjadi dua bagian, daunya dianyam dan ujungya ditemukan, jika tidak bertemu, daun kelapa itu ditekuk dan diplepet dengan bambu apus dan diikat dengan tali tutus, hasil anyaman dipasang di kanan kira pendapa. Ajaran simboliknya adalah pertemuan kedua anak ( jodoh ) itu mengandung adanya berbagai pertemuan, antara lain : pertemuan watak, pribadi, orang tua, anak, pendapat, dsb. Namun dari sekian kompleksitas perjodohan itu tentu ada hal – hal yang tidak cocok, untuk itu harus menerima apa adanya ( mupus ; dari pring apus ) dan harus diputuskan ( dari tutus ) agar perjodohan terjadi dan langgeng atau lestari hingga akhir hayat.
            Di pintu depan dihias janur yang dilengkungkan seperti gerbang gapura, ajaran simboliknya adalah manusia itu sebagi hamba Tuhan, oleh karena itu, manusia harus senantiasa menekung ( bersujud memohon bimbingan Tuhan : Nur / cahaya dari janur ) agar Tuhan melimpahkan Rahmat dan Anugerah-Nya.
             Karena berbagai hiasan itu pertama kali yang menggunakan Ki Ageng Tarub yang terletak di Dusun Tarub, maka hiasan itu lestari hingga sekarang dan disebut Tarub, hingga sekarang tradisi Tarub masih terus dilestarikan oleh masyaraktat Jawa.
 

Ki Ageng Getas Pandawa

Ki Ageng Getas Pendowo (? - ?) anak dari Raden Bondan Kejawan / Aria Lembu Peteng putra Bhre Kertabhumi Raja Majapahit ke V yang memerintah tahun 1468-1478 dengan Retno Dewi Nawangsih putri Raden Jaka Tarub. Kalaulah Kerajaan Majapahit runtuh setelah raja yang ke VI, boleh jadi Raden Bondan Kejawan adalah Raja Majapahit Ke VI alias Girindrawardhana yang memerintah tahun 1478-1498.
Ki Ageng Getas Pendowo memiliki 7 putera-putri yaitu : Ki Ageng Selo, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purno, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, dan Nyai Ageng Adibaya. Ki Ageng Getas Pendowo mempunyai saudara : Ki Ageng Wonosobo dan Nyai Ageng Ngerang (Siti Rochmah / Dewi Roro Kasihan) yang menikah dengan Ki Ageng Serang / Sunan Ngerang / Seikh Muhammad Nurul Yaqin putra Maulana Maghribi II.

Menurut cerita Babad Tanah Jawi (Meinama, 1905; Al-thoff, 1941), Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning dan berputra Bondan Kejawan/Ki Ageng Lembu Peteng yang diangkat sebagai murid Ki Ageng Tarub. Ia dikimpoikan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Dari perkimpoian Lembu Peteng dengan Nawangsih, lahir lah Ki Getas Pendowo (makamnya di Kuripan, Purwodadi). Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh dan yang paling sulung Ki Ageng Selo.
Ki Ageng gemar bertapa di hutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi-bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Salah satu muridnya tercintanya adalah Mas Karebet/Joko Tingkir yang kemudian jadi Sultan Pajang Hadiwijaya, menggantikan dinasti Demak.

Silsilah Keturunan[sunting | sunting sumber]
Silsilah Ki Ageng Getas Pendowo dalam Babad Jawa versi Mangkunegaran
Silsilah Keturunan Lengkap :
Ki Ageng Sela menikah dengan Nyai Ageng Selo / Nyai Bicak putri KI Ageng Ngerang, mempunyai 7 orang putra-putri :
Nyai Ageng Lurung Tengah
Nyai Ageng Saba
Nyai Ageng Basri
Nyai Ageng Jati
Nyai Ageng Patanen
Nyai Ageng Pakis Dadu
Ki Ageng Enis (? - 1503) memiliki 2 orang putra :
Ki Ageng Pemanahan / Kyai Gede Mataram (Membuka Kota Gede Mataram pada tahun 1558 sebagai hadiah dari Raja Pajang), wafat pada tahun 1584, menikah dengan Nyai Sabinah (putri Ki Ageng Saba) mempunyai putra-putri 26 orang :
Adipati Manduranegara
Kanjeng Panembahan Senopati / Raden Sutawijaya (Sultan Mataram ke 1, pendiri, 1587-1601) menikah dengan 3 istri melahirkan putra-putri 14 orang :
Gusti Kanjeng Ratu Pambayun / Retna Pembayun
Pangeran Ronggo Samudra (Adipati Pati)
Pangeran Puger / Raden Mas Kentol Kejuro (Adipati Demak)
Pangeran Teposono
Pangeran Purbaya / Raden Mas Damar
Pangeran Rio Manggala
Pangeran Adipati Jayaraga / (Raden Mas Barthotot)
Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati/Panembahan Seda ing Krapyak (Sultan Mataram ke 2, 1601-1613) menikah dengan Ratu Tulung Ayu dan Dyah Banowati / Ratu Mas Hadi (Cicit dari Raden Joko Tingkir & Ratu Mas Cempaka), menurunkan putra-putri 12 orang :
Sultan Agung / Raden Mas Djatmika (1593-1645), Sultan Mataram ke 3 (1613-1645) menikah dengan Permaisuri ke 1 Kanjeng Ratu Kulon / Ratu Mas Tinumpak (putri Panembahan Ratu Cirebon ke 4 setelah Sunan Gunung Jati), permaisuri ke 2 Kanjeng Ratu Batang / Ratu Ayu Wetan / Kanjeng Ratu Kulon mempunyai 9 orang putra-putri :
Raden Mas Sahwawrat / Pangeran Temenggong Pajang
Raden Mas Kasim / Pangeran Demang Tanpa Nangkil
Pangeran Ronggo Kajiwan
Gusti Ratu Ayu Winongan
Pangeran Ngabehi Loring Pasar
Pangeran Ngabehi Loring Pasar
Sunan Prabu Amangkurat Agung / Amangkurat I / Raden Mas Sayidin (Sultan Mataram ke 4, 1646-1677) wafat 13 Juli 1677 di Banyumas.
Sunan Prabu Mangkurat II / Sunan Amral / Raden Mas Rahmat (Sunan Kartasura ke 1, 1677-1703)
Sunan Prabu Amangkurat III (Sunan Kartasura ke 2, 1703-1705)
Susuhunan Pakubuwono I / Pangeran Puger / Raden Mas Drajat (Sunan Kartasura ke 3, 1704-1719)
Raden Mas Sengkuk
Prabu Amangkurat IV (Mangkurat Jawi) wafat 20 April 1726
Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara (Mangkunegara I, 1757-1795)
Gusti Raden Ayu Suroloyo, di Brebes
Gusti Raden Ayu Wiradigda
Gusti Pangeran Hario Hangabehi
Gusti Pangeran Hario Pamot
Gusti Pangeran Hario Diponegoro
Gusti Pangeran Hario Danupaya
Sri Susuhunan Pakubuwono II / Raden Mas Prabasuyasa (Sunan Surakarta ke 1, 1726-1742)
Gusti Pangeran Hario Hadinagoro
Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, Garwa Pangeran Hindranata
Gusti Raden Ajeng Kacihing, Dewasa Sedho
Gusti Pangeran Hario Hadiwijoyo
Gusti Raden Mas Subronto, Wafat Dalam Usia Dewasa
Gusti Pangeran Hario Buminoto
Pangeran Hario Mangkubumi Hamengku Buwono I (Sultan Yogyakarta Ke 1, 1717-1792)
Sultan Dandunmatengsari
Gusti Raden Ayu Megatsari
Gusti Raden Ayu Purubaya
Gusti Raden Ayu Pakuningrat di Sampang
Gusti Pangeran Hario Cokronegoro
Gusti Pangeran Hario Silarong
Gusti Pangeran Hario Prangwadono
Gusti Raden Ayu Suryawinata di Demak
Gusti Pangeran Hario Panular
Gusti Pangeran Hario Mangkukusumo
Gusti Raden Mas Jaka
Gusti Raden Ayu Sujonopuro
Gusti Pangeran Hario Dipawinoto
Gusti Raden Ayu Adipati Danureja I
Pangeran Diposonto / Ki Ageng Notokusumo
Raden Ayu Lembah
Raden Ayu Himpun
Raden Suryokusumo
Pangeran Blitar
Pangeran Dipanegara Madiun
Pangeran Purbaya
Kyai Adipati Nitiadiningrat I Raden Garudo (groedo)
Raden Suryokusumo
Tumenggung Honggowongso / Joko Sangrib (Kentol Surawijaya)
Gusti Raden Ayu Pamot
Pangeran Martosana
Pangeran Singasari
Pangeran Silarong
Pangeran Notoprojo
Pangeran Satoto
Pangeran Hario Panular
Gusti Raden Ayu Adip Sindurejo
Raden Ayu Bendara Kaleting Kuning
Gusti Raden Ayu Mangkuyudo
Gusti Raden Ayu Adipati Mangkupraja
Pangeran Hario Mataram
Bandara Raden Ayu Danureja / Bra. Bendara
Gusti Raden Ayu Wiromenggolo / R.Aj. Pusuh
Gusti Raden Ayu Wiromantri
Pangeran Danupoyo/Raden Mas Alit
Pangeran Mangkubumi
Pangeran Bumidirja
Pangeran Arya Martapura / Raden Mas Wuryah (1605-1688)
Ratu Mas Sekar / Ratu Pandansari
Kanjeng Ratu Mas Sekar
Pangeran Bhuminata
Pangeran Notopuro
Pangeran Pamenang
Pangeran Sularong / Raden Mas Chakra (wafat Desember 1669)
Gusti Ratu Wirokusumo
Pangeran Pringoloyo
Gusti Raden Ayu Demang Tanpa Nangkil
Gusti Raden Ayu Wiramantri
Pangeran Adipati Pringgoloyo I (Bupati Madiun, 1595-1601)
Ki Ageng Panembahan Djuminah/Pangeran Djuminah/Pangeran Blitar I (Bupati Madiun, 1601-1613)
Pangeran Adipati Martoloyo / Raden Mas Kanitren (Bupati Madiun 1613-1645)
Pangeran Tanpa Nangkil
Pangeran Ronggo
Nyai Ageng Tumenggung Mayang menikah dengan Kyai Ageng Tumenggung Mayang berputra 1 orang :
Raden Pabelan (wafat 1587)
Pangeran Hario Tanduran
Nyai Ageng Tumenggung Jayaprana
Pangeran Teposono
Pangeran Mangkubumi
Adipati Sukawati
Bagus Petak Madiun
Pangeran Singasari/Raden Santri
Pangeran Blitar
Raden Ayu Kajoran
Pangeran Gagak Baning (Adipati Pajang, 1588-1591)
Pangeran Pronggoloyo
Nyai Ageng Haji Panusa, ing Tanduran
Nyai Ageng Panjangjiwa
Nyai Ageng Banyak Potro, ing Waning
Nyai Ageng Kusumoyudo ing Marisi
Nyai Ageng Wirobodro, ing Pujang
Nyai Ageng Suwakul
Nyai Ageng Mohamat Pekik ing Sumawana
Nyai Ageng Wiraprana ing Ngasem
Nyai Ageng Hadiguno ing Pelem
Nyai Ageng Suroyuda ing Kajama
Nyai Ageng Mursodo ing Silarong
Nyai Ageng Ronggo ing Kranggan
Nyai Ageng Kawangsih ing Kawangsen
Nyai Ageng Sitabaya ing Gambiro
Ki Ageng Karatongan
Nyai Ageng Pakis
Nyai Ageng Purno
Nyai Ageng Kare
Nyai Ageng Wanglu
Nyai Ageng Bokong
Nyai Ageng Adibaya

Ki Ageng Getas Pendawa sebagai Perintis Kesultanan Mataram[sunting | sunting sumber]
Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di Surakarta, tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya Laweyan merupakan perkampungan masyarakat yang beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Beluk, sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat Laweyan saat itu. Ia menganut agama Hindu, tetapi karena dakwah yang dilakukan oleh Ki Ageng Henis, Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyerahkan bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi Masjid Laweyan.
Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan putra Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram". Disamping itu banyak perintis lainnya yang dianggap berjasa besar terhadap terbentuknya Kesultanan Mataram seperti : Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan tokoh lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai leluhur Raja-raja Mataram yang mewarisi nama besar keluarga keturunan Brawijaya majapahit yang keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan menyandang nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki arti : tokoh besar keagamaan dan pemerintahan yang dihormati yang memiliki kelebihan, kemampuan dan sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.
Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan Mataram yaitu :
Fakta 1 : Tokoh-tokoh perintis tersebut adalah keturunan ke 1 sampai dengan ke 6 raja Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, yang sudah dapat dipastikan masih memiliki pengaruh baik dan kuat terhadap Kerajaan yang memerintah maupun terhadap masyarakat luas;
Fakta 2 : Tokoh-tokoh tersebut adalah keturunan Silang/Campuran dari Walisongo beserta leluhurnya yang terhubung langsung kepada Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, yang sudah dapat dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan (Islam) berikut ilmu pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan islam jajirah Arab. Hal ini terbukti dalam aktivitas keseharian mereka juga sering berdakwah dari daerah satu ke daerah lainnya dengan mendirikan banyak Masjid, Surau dan Pesantren;
Fakta 3 : Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh para Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu dengan garis keturunan kerajaan.
Fakta 4 : Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi Kesultanan Mataram pada dasarnya adalah kesinambungan dari "Misi" sesuai Fakta 3, seperti juga yang terjadi dengan Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang, Kerajaan Talaga Majalengka dan Kerajaan Sarosoan Banten, di luar adanya perebutan kekuasaan.

Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah dan/atau Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh dan para Wali.
sumber, https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Ageng_Getas_Pandawa 

0 komentar:

Posting Komentar

MENEMANI MAYAT SELAMA 40 HARI

Alkisah seorang Konglomerat yang sangat kaya raya menulis surat wasiat: "Barang siapa yang mau menemaniku selama 40 hari di dal...

Cari Blog Ini

Laman