
MITOS JUALAN NASI DI
SELO,TAWANGHARJO
Tak Ada Penjual Nasi di Selo Panjimatan
JANGAN pernah berniat membeli nasi di
Dukuh Selo Panjimatan, Desa Selo,
Kecamatan Tawangharjo, Grobogan.
Sebab, itu sebuah kesia-siaan. Ada mitos di
dukuh asal Ki Ageng Selo tersebut yang
melarang nasi diperjualbelikan. Warga
menghormati mitos itu dari dulu hingga
sekarang.
Tak satu pun dari mereka berani menjajakan
nasi di warungnya. Pelanggaran terhadap
mitos diyakini membawa akibat buruk.
Dari petir menyambar-nyambar, sampai
mendapat petaka.
Badrul Munir (42), seorang warga
menyampaikan cerita tutur berkait pamali
itu. Suatu ketika, Ki Ageng Selo
kedatangan tamu. Tokoh yang dipercaya
sebagai cikal-bakal raja-raja Mataram-
baik Surakarta maupun Ngayogyakarta itu
segera meminta istrinya menyiapkan
hidangan.
Saat hidangan siap, Ki Ageng Selo pun
mengajak tamunya bersantap. Namun, di
luar dugaan ajakan itu ditolak. Sang tamu
berdalih baru saja makan nasi di warung.
Merasa jengkel, lelaki bernama kecil Raden
Bagus Sogom itu lantas mengucap sepata:
"Wiwit saiki tekane besok, anak turunanku
aja padha dodolan sega ing papan
kene" (Mulai sekarang hingga kelak, anak
keturunanku jangan ada yang berjualan nasi
di tempat ini).
Terlepas benar-tidaknya, warga masih
memegang teguh piweling itu. Para pemilik
warung di sekitar masjid, yakni di Dukuh
Selo Panjimatan dan sebagian Selo Krajan,
tidak ada yang berani menjual menu
makanan dari nasi.
Tak Melayani
Ny Uti (43) misalnya. Sebagai ganti nasi,
pemilik warung di Selo Panjimatan itu
menjajakan lontong sayur dan mi jawa.
Lontong sayur dijajakan sejak pagi dan mi
jawa mulai sore hingga malam.
Dia tidak akan melayani pengunjung warung
yang menghendaki nasi.Kalau toh terpaksa,
Ny Uti akan memberikan nasi secara
cuma-cuma. Itu pun dengan syarat tidak
boleh dimakan di warung.
"Suatu hari ada santri yang minta nasi.
Karena kasihan, saya beri dia nasi dan
memintanya untuk makan di dalam rumah,
bukan di warung," kata Ny Uti.
Kepercayaan itu demikian kuat melekat di
benak warga. Maka, jika suatu hari ada
petir menyambar-nyambar, mereka akan
bertanya: "Siapa yang berani menjual nasi
di dukuh ini."
Petir sebagai penanda yang diyakini warga,
barangkali tak lepas dari sosok Ki Ageng
Selo. Dikisahkan dalam Babad Tanah
Jawi edisi Meinsma, ia mampu menangkap
petir yang menyerang nya.
Suatu ketika di masa pemerintahan Sultan
Trenggana, Ki Ageng Selo pergi ke ladang.
Hari hujan, petir menyambar-nyambar.
Petir tiba-tiba menghantam tubuh Ki
Ageng Selo. Dengan sigap tangannya
menangkap petir berwujud kakek-kakek itu.
Setelah diringkus, tubuh kakek diikat di
pohon gandri, sementara ia meneruskan
pekerjaannya. Petir berwujud kakek-kakek
itu diserahkan kepada Sultan. Oleh Sultan
kemudian dimasukkan ke dalam kerangkeng
besi yang kuat dan diletakkan di tengah
alun-alun.
Orang-orang ramai berdatangan untuk
melihat wujud petir tersebut. Di antara
mereka ada seorang nenek yang memberi
petir air kendi. Tak lama berselang, terjadi
ledakan dahsyat yang menghancurkan
kerangkeng besi, penjara tubuh si kakek.
0 komentar:
Posting Komentar